Indonesia tengah menghadapi titik balik penting dalam sejarah ekonominya dengan bergerak dari model industri ekstraktif menuju ekonomi hijau. Proyeksi menunjukkan bahwa transisi ini dapat membawa dampak luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi nasional, menandai perubahan paradigma yang signifikan. Berdasarkan pernyataan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira memaparkan transisi ekonomi hijau diprediksi akan memberikan kontribusi besar terhadap Output Ekonomi Nasional, dengan nilai mencapai Rp4.376 triliun.
Menurut Bhima, transisi ekonomi menuju model berkelanjutan memiliki potensi untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp2.943 triliun dalam satu dekade, setara dengan 14,3% dari total PDB pada tahun 2024. Ini menjadi perbandingan signifikan dengan model bisnis konvensional yang hanya akan menghasilkan Rp1.483 triliun. Transisi ini tidak hanya meningkatkan PDB, tetapi juga memberikan dampak positif pada lapangan kerja dan pendapatan pekerja.
Berdasarkan penelitian CELIOS, peralihan dari industri ekstraktif ke ekonomi hijau diperkirakan dapat membuka lebih dari 19,4 juta lapangan kerja baru. Sejumlah sektor terkait, seperti pertanian, kehutanan, perikanan, dan industri ramah lingkungan lainnya, akan menjadi penyumbang utama dalam transformasi ekonomi ini. Dengan adanya lapangan kerja baru, pendapatan pekerja di berbagai sektor dapat meningkat secara keseluruhan, mencapai tambahan sebesar Rp902,2 triliun.
Peralihan ke ekonomi hijau tidak hanya memberikan keuntungan bagi masyarakat dan pekerja, tetapi juga menciptakan peluang baru bagi pelaku usaha. Ini dapat mendorong kemunculan industri baru di sektor ekonomi sirkular dan transisi energi. Surplus usaha nasional dari transisi ini diperkirakan dapat mencapai Rp1.517 triliun dalam satu dekade jika implementasinya dilakukan dengan benar.
Studi juga menemukan bahwa ekonomi hijau dapat mempersempit ketimpangan pendapatan antar provinsi di Indonesia. Bhima menekankan bahwa praktik industri ekstraktif saat ini menciptakan ketidaksetaraan, dan transisi ke ekonomi berkelanjutan dapat mengurangi kesenjangan ini. Selain itu, negara juga diuntungkan dari segi finansial, dengan penerimaan pajak neto dari ekonomi hijau diperkirakan meningkat menjadi Rp80 triliun, dibandingkan dengan Rp34,8 triliun dari ekonomi ekstraktif.
Agar transisi ke ekonomi hijau berjalan dengan lancar, Bhima menilai pentingnya dukungan pendanaan dari pemerintah dan sektor swasta. Insentif fiskal di sektor bahan bakar fosil dan tambang dapat dialihkan ke sektor industri berkelanjutan. Pajak produksi batubara dan pajak windfall profit juga dapat diterapkan. Pemerintah juga diharapkan untuk menerapkan pajak karbon guna mengurangi emisi yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi ekstraktif dan bahan bakar fosil.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menggarisbawahi bahwa momentum pemilihan umum 2024 dapat digunakan sebagai katalis untuk mempercepat transisi ekonomi hijau di Indonesia. Diperlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan calon pemimpin untuk mengimplementasikan transformasi ini. Tanpa komitmen yang kuat, potensi besar dari transisi ke ekonomi hijau dapat terbuang percuma, dan masyarakat akan terus merasakan dampak krisis iklim yang semakin memburuk.
Transisi ekonomi Indonesia ke ekonomi hijau bukan hanya suatu keharusan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, tetapi juga merupakan peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan komitmen politik, dukungan pemerintah, dan partisipasi aktif sektor swasta, Indonesia dapat menjelma menjadi pemimpin dalam membangun masa depan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Demikian informasi seputar ambisi Indonesia untuk melakukan transisi ekonomi hijau. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Freecaretips.Com.